(Cover
novel The Einstein Girl karya Philip
Sington)
Siapa
yang tak mengenal Albert Einstein? Ilmuan terkemuka yang telah mengubah dunia dengan
teori-teorinya ini ternyata punya satu catatan masa lalu yang terkuak bersamaan
dengan surat-menyurat yang kini dibuka untuk publik antara Einstein dan mantan
istri pertamanya, Mileva Maric.
Dalam
surat itu menyingkap tentang anak perempuan Einstein dan Mileva sebelum mereka
menikah. Anak itu dipanggil Lieserl (Elisabeth) dan dilahirkan pada 27 Januari
1902 di sebuah desa yang pada saat itu termasuk dalam wilayah kerajaan
Austro-Hungaria.
Awalnya,
saya mencoba mencari novel yang memiliki nuansa memoar mengenai sisi lain
ilmuan terkemuka seperti pada Travelling
to Invinity karya mantan istri Stephen Hawking, Jane Hawking, yang juga
populer dengan film adaptasinya yaitu Theory
of Everything. Kemudian saya melihat novel The Einstein Girl karya Philip Sington dalam rak buku koleksi ibu
saya dan membuat saya tertarik hanya dari sekali melihat.
Meski
bukan memoar realita seperti pada karya Jane Hawking, The Einstein Girl menyajikan berbagai fakta historis yang dipadukan
dengan fiksi yang menarik dan menghasilkan sebuah thriller historis yang memukau, gelap sekaligus indah. Meski sempat
terdistraksi dengan sub-judul yang tertera pada cover depan buku yang bertajuk ‘Di
Balik Kisah Cinta Sang Ilmuwan’, yang membuat saya menganggap bahwa tokoh
utama pada novel ini adalah sang mantan istri, Mileva Maric, dan menceritakan
kisah mereka bersama seperti pada tulisan Jane Hawking pada Travelling to Invinity.
Tetapi
sebenarnya, The Einstein Girl bercerita
tentang pskiater Martin Kirsch yang mendapat seorang pasien amnesia yang
menjadi buah bibir media Jerman karena ditemukan dalam keadaan nyaris tewas
dengan tanpa busana di luar kota Berlin. Ketertarikan profesionalnya terhadap
pasien yang disebut dengan “Pasien E” itu berubah menjadi rasa cintanya kepada
The Einstein Girl tersebut seiring dengan Kirsch berusaha menyingkap kebenaran
di balik kasus ini, meski sebenarnya Kirsch telah bertunangan dengan kekasihnya,
Alma.
Sington
menulisnya dengan indah dari sudut pandang orang ketiga. Ia menggunakan reset
mendalam mengenai Einstein dan kehidupan di sekitar Jerman paska Perang Dunia I
menuju Perang Dunia II, sehingga kita dapat merasakan kelamnya hidup di era
itu. Konon, menurut surat antara Einstein dan Mileva, Liesrl atau Elisabeth
sudah meninggal setahun setelah kelahirannya. Terlepas dari benar atau tidaknya
hal itu, Sington melalui The Einstein Girl mengajak kita berandai-andai
bagaimana jika Elisabeth masih hidup dan berusaha menyibak kebenaran
identitasnya sendiri.
Dengan
lebih banyaknya narasi daripada percakapan pada novel tidak membuat bosan para
pembaca. Narasi deskriptifnya begitu detail dengan diksi yang indah tanpa
membuat alurnya terasa lambat. Malah pembaca dibuat tertarik dengan alur
maju-mundur pada novel. Belum lagi di sela-sela alur maju-mundur itu, sering
ada surat yang terkesan menggantung, tapi seiring dengan surat-surat tertulis
di sela-sela bab dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlintas.
Interaksi
antar Kirsch dengan sang pasien memang tidak begitu banyak, namun sekalinya
terdapat komunikasi di antara keduanya, itu merupakan adegan dan percakapan
yang berkualitas.
Buku
setebal kurang lebih 523 halaman ini ditulis Sington pada tahun 2009, dan
cetakan pertama edisi terjemahan bahasa Indonesia diluncurkan Mei 2010 oleh
Serambi Ilmu Semesta.
Sington
mengajak kita berimajinasi dengan sudut pandang orang ketiganya, menjelajah
Jerman sehabis Perang Dunia I, menjadi seorang psikiater bernama Martin Kirsch
yang memiliki pasien yang menjadi sorotan seluruh negri, berusaha membantu
pasiennya untuk sembuh dengan begitu kesuguhan niat, bahkan sampai tak
mendengarkan apa kata orang. Cinta membuat kita dapat melakukan apapun untuk
yang kita cintai. Ia menulis seakan cerita ini benar-benar nyata terjadi.
Lalu
apa hubungannya Martin Kirsch, Pasien E dan Einstein? Baca saja di The Einstein
Girl!
Conclusion
Ratings: 4.3/5
0 komentar:
Posting Komentar