Secarik Memoar Delusional

Source: Google

Meski sebuah harapan baru tengah aku usahakan, kita tetap tidak bisa menjadi sebuah koeksistensi yang saling mengisi dan bertukar mengenai banyak hal. Dari seorang penulis handal yang menulis lembar kosong pada diriku kini bermetafora menjadi seorang pemanah yang melepaskan anak panahnya dengan tepat menusuk di bagian yang tengah berusaha untuk kembali sembuh. Kehidupan memang tak pernah statis dan selalu dinamis. Karenanya, semua orang berubah. Selalu dan selalu.

Pernah satu saat kita bertukar pikiran mengenai banyak hal dengan segala optimisme yang ada di dunia mengenai jenjang karier yang sama-sama kita minati nantinya. Pernah pula kita bertukar ide mengenai tulisan-tulisan di meja makan sebuah tempat makan fenomenal dengan dua laptop yang saling mengisi dari segala keterbatasannya. Pernah kita bertukar segala keluh kesah tentang dunia yang tak selalu memihak kepada siapa pun.

Aku selalu menjawab segala pertanyaanmu dari yang kutahu hingga kucoba untuk tahu; aku selalu berusaha terus menyambung segala percakapan yang tengah kubangun dengan susah payah meski kadang jawabanmu seperti acuh tak acuh; aku selalu berusaha.. Menjadi ‘seseorang’ yang akan kau anggap lagi dengan segala ide-ide yang muncul di kepalaku; aku berusaha menepati janji iseng yang kau lontarkan; aku selalu mau dengan proyek-proyek seni yang selalu kau mau hingga kamu menuliskan dalam satu baris kalimatmu yang masih sangat kuingat: “...dan lo bisa nemenin gue mencapai mimpi yang gue mau banget dari dulu. :)”.

Semua kulakukan itu karena aku selalu berharap dapat kembali merajut sebuah hubungan bersamamu yang dulu sempat kandas ketika kamu merelakanku dengan orang yang kini menjadi sahabat terbaikku. Aku mau melakukannya untukmu karena harapan-harapan yang kini kosong dan mungkin tanpa arti. Agar kamu mau kembali membuka hati.

Aku dengan berbagai ketakutan mencoba untuk kembali memulai konfersasi meski jawaban awalmu begitu cuek. Tapi tetap kucoba hingga kamu dapat kembali menuliskan panjang lebar kata per kata layaknya dahulu.

Bahkan, ketika aku cukup patah hati mendengar jawabanmu setelah jawaban yang kamu berikan di akhir perjalan di hari selasa yang kuharap akan berakhir indah, aku memutuskan untuk terus berusaha.

Namun pesan menyakitkan itu datang satu hari setelah hari ulang tahunku, di tengah-tengah tahun yang kuharap menjadi baik untukku karena tahun sebelumnya bak badai yang terus melanda. Tapi awal tahun ini hancur dengan begitu mudahnya. Paragraf demi paragraf pelajaran yang tengah kubaca seketika buyar. Pikiranku entah ke mana. Semuanya terasa kalut. Entah mungkin kamu sendiri membutuhkan keberanian lebih untuk membicarakan hal itu kepadaku.

Terserah nantinya kamu mau menganggap aku apa, tapi untuk sekarang-sekarang ini hingga entah kapan, segala proyek itu mungkin benar-benar akan tertunda. Mungkin kita belum dapat menjadi seorang sahabat sekarang seperti yang kau inginkan, tapi nanti waktu akan memulihkan semuanya. Semuanya memang perlu waktu.

Aku memang paling tidak menyukai perpisahan. Beberapa psikotes yang kuikuti pun mendukung hal tersebut. Namun pesan terakhir ini benar-benar kembali membuat pundi-pundi yang mulai kutata kembali hancur berantakan oleh kalimat yang kamu tulis: “Gue bakal tetap ada buat lo kapan pun lo butuh gue dan gue janji gue nggak akan pergi. Sorry banget kalo ini udah keberapa kalinya gue nyakitin lo. Gue akan tetep di tempat yang sama ketika lo butuh gue.”

Kamu tak salah. Mungkin hanya aku yang terlalu berharap lebih dengan segala delusionalku agar membuatmu kembali dan membuatmu bahagia. Mungkin juga kamu hanyalah fantasi belaka yang hanya aku damba-dambakan di pikiranku. Mungkin kamu adalah mimpi indah yang memang hanya sekadar mimpi. Mungkin kamu adalah kemustahilan yang terus aku perjuangkan.

Salahku juga mungkin tak mengambil kesempatan bersamamu sedari awal. Mungkin kamu belum mengerti alasannya, tapi suatu saat mungkin akan mengerti, dan kuharap begitu.

Bukan berarti aku membencimu. Aku yakin kamu dengan segala karisma yang kamu miliki mungkin dapat bersinar lebih terang tanpa aku yang menemanimu menggapai mimpi.

Aku tak ingin menjauh darimu. Tentu suatu saat sangat baik menganggapmu menjadi seorang sahabat. Tapi seperti kataku tadi, mungkin tidak bisa dalam waktu dekat.

Mungkin aku tak bisa memenuhi apa yang kamu anggap aku adalah orang yang selalu ada ketika orang lain tak ada untukmu ataupun predikat ‘best bestfriend’. Dulu kulakukan itu karena aku menyayangimu sebagai seorang yang ingin memilikimu, tapi mungkin kamu menyayangiku sebagai seorang sahabat. Harapanku mungkin terlalu tinggi dan muluk-muluk.

Selalu kuharap dirimu nantinya terus berbahagia dengan siapa pun nantinya.

Terima kasih telah menjadi delusional terindah.

Dari diriku, yang pernah (masih) mencintaimu dan mencoba menerima kekalahan telak untuk kesekian kalinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Flickr Photostream

Romantic Palace

Twitter Updates

Meet The Author