Celluloid, atau negative film untuk memutar film bioskop zaman dahulu. Di mana ketika ingin memutar ulang filmnya harus digulung hingga awal.
Ada
satu video klip favoritku yang begitu kusukai karena maknanya begitu abstrak
dengan berbagai interpretasi masing-masing orang yang melihat. Sebenarnya video
klip itu sangat simpel: sebuah kaset pita yang tengah berputar kembali ke awal
lagu, kemudian memainkan lagu itu dari awal hingga akhir. Sangat simpel bukan?
Mungkin untuk sebagian orang juga sangat membosankan.
Namun,
aku memiliki pandangan lain mengenainya. Itu sama saja ketika kita mengingat
sebuah momen yang ingin diceritakan, kemudian kamu menemukannya dan kamu
menuturkan momen itu. Kebetulan, video klip itu sangat sesuai dengan judul
lagunya: X-Kid.
Ketika
kaset pita itu mengulang dari awal, itu menunjukan kamu mencari sebuah momen
indah di masa kecil. Kamu mengalami yang dinamakan dengan flashback. Kamu merindukan masa-masa itu. Kemudian ketika selesai,
kaset pita itu mulai memutar lagu dari awal. Sesuai lirik yang diucapkan, frasa
itu mengenai bagaimana kita jangan terlalu larut kedalam kebanggaan masa muda
dan kemudian kamu melupakan kehidupan yang berat nantinya.
Tapi
yang ingin kubahas bukan mengenai kaset pita dan konsep keseluruhan video klip
itu. Namun konsep kaset itu sama seperti apa yang ingin kulakukan sekarang:
Mengingat rekapan ulang tahun 2016 yang merupakan tahun tersulit dan penuh
lika-liku dalam hidupku. Tentu dengan pengertian secara harafiahnya.
Meski
aku masih berumur 18 tahun, dan mungkin masih ada tantangan-tantangan lain yang
lebih sulit di tahun-tahun berikutnya, tapi tahun ini memang tahun yang memberiku banyak pelajaran
mengenai hidup yang sebenarnya begitu kompleks dan rumit.
Ia
memang tak mendiktekan atau menerangkannya di kelas, tetapi ia langsung
mengenaiku tepat sasaran—membuatku kalah telak dengan apa yang selama ini
kupercaya dan kuusahakan untuk kupegang teguh. Tahun ketika aku mengalami
krisis kepercayaan, krisis akan definisi mengenai cinta.
Seperti
kata-kata yang pernah kubuat, hidup ini seperti kopi—di mana rasa pahitnya
tetap masih bisa dinikmati.
Aku
belajar mengenai inti dari sebuah persahabatan.
Aku selalu bersyukur memiliki sahabat yang selalu menemaniku dan tak
pernah menganggap enteng semua masalahku. Aku bersyukur mereka terus menyimpan
masalah ini tanpa menyebar-nyebarkannya. Karena aku tahu, masalah ini tak semua
orang bisa memberi saran juga tak semua orang bisa menjaganya dengan baik. Tak
sembarang orang bisa kuceritakan.
Ketika
isak tangisku tak bisa kubendung lagi sehabis upacara bendera di hari senin
itu, salah satu sahabatku, Rido, menjaga diriku yang tengah lemah
terombang-ambing dan tak membiarkan semua orang mendekatiku untuk menanyakan
macam-macam. Ia menyuruhku terus menangis tanpa mengataiku banci atau apapun
yang berhubungan dengan maskulinitas.
Setelah
semua sepi, ia baru menghiburku dengan lawakan khasnya dan memancingku untuk
bercerita mengenai kepahitan hidup yang kualami, meski tak seluruhnya. Ia yang
merupakan wakil ketua kelasku pun bersedia menyiapkan seluruh kelas
menggantikanku. Ini bukan mengenai cinta dalam definisi dua insan yang tengah
jatuh cinta dan berharap melepas masa lajangnya ataupun ketika berharap cintanya
kembali. Bukan. Ini ibaratnya adalah suatu lukisan yang tengah kubuat dengan
pelan-pelan juga sepenuh hati, tiba-tiba robek tepat di tengah lukisan.
Di
tahun ini pula, emosiku menjadi labil karena sebuah masalah yang seharusnya
mungkin belum harus kuketahui. Aku menjadi memberontak terhadap banyak hal.
Tahun ini adalah pertama kalinya diriku membetak dan memarahi seorang teman
wanita pintar yang sangat baik kepadaku ketika ia tengah menanyai keadaan diriku
yang telat datang try out untuk Ujian Nasional setengah jam lebih. Aku malah
memecah kesunyian kelas dengan membentaknya dan membuat perspektif seluruh
teman-temanku berubah mengenai diriku yang dibayangan mereka adalah anak
baik-baik nan polos. Ada pula sebuah pertengkaran fisik yang kulakukan akibat
seseorang yang bercandanya menurutku terlewat batas.
Tahun
ini adalah ketika perspektif dan kepercayaanku terhadap seseorang yang kuanggap
pahlawan dalam keluarga pun mulai terombang-ambing. Aku tak tahu harus
mempercayai versi mana yang harus kupercaya. Tahun ketika rumah yang kamu
harapkan diisi oleh keluarga hangat nan harmonis itu semua sirna. Ketika
lagu-lagu yang selalu kudengarkan untuk meredam emosiku tak lagi bisa menahan
semua itu. Tak ada lagi suasana nyaman dalam rumah. Seandainya kenyamanan dalam
rumah bisa kubeli, mungkin aku akan mengeluarkan uang untuknya.
Ketika
rumahku gelap dan tak dapat lagi memberi kenyamanan yang kuminta, aku pergi
(atau tepatnya kabur) ke apartemen milik sahabatku semasa SMP di daerah
Kuningan tanpa bilang siapapun dan handphone kumatikan. Salah satu penyakit
telinga di sebelah kiri tengah hinggap lagi. Rasanya ingin terus marah, resah
juga gelisah. Namun, kedua sahabatku terus menghiburku, juga menceritakan
pengalaman pahit mereka.
Selama
ini, aku terus percaya bahwa cinta adalah fondasi utama dalam suatu keluarga
yang harmonis. Namun, semua itu tak cukup dan
tak pernah cukup. Bukankah cinta dalam rumah tangga itu mengenai
bagaimana kita berjuang dalam kondisi apapun? Bukankah cinta sejati itu
mengenai jatuh-bangun?
Sejak
masalah ini ada, aku selalu menganggap bundaku adalah orang yang patut
kusalahkan. Bahkan dalam hati meminta agar jika aku menikah—dan jika
benar-benar percaya mengenai konsep pernikahan—aku tak ingin memiliki seorang
kekasih sepertinya. Aku mengatakan bundaku begitu egois.
Di
tahun ini, ketika Kang Naufal tengah tertidur di rumah sakit, aku mengetahui
semua kenyataan pahit dari perspektif lain yang selama ini benar-benar
kupercaya. Pikiran dan perasaanku berdialog untuk mempercayai versi yang mana.
Perspektif mengenai bundaku berubah. Hatiku kembali membuka dan menyayangi
bundaku sebagaimana dahulu aku pernah mencintainya. Ia memperjuangkan apa yang
terbaik untuk anak-anaknya.
Ayahku
juga tak salah. Menurutku ia tak salah. Tapi kehidupan seorang bos sebuah
Production House dan seorang dosen di kampus ternama di Jakarta tentu ada jatuh
bangunnya. Tak pernah menyangka bahwa ayahku pernah difitnah dengan kejam
sehingga kontrak kerja dengan berbagai klien diputus. Perampokan oleh anak
buahnya sendiri membuat Production House itu bangkrut. Ia tak salah.
Selama
ini aku percaya ayahku adalah seorang pahlawan hebat yang seumur hidupku belum
pernah kulihat ia marah. Ia sosok yang begitu penyabar dan lembut hati. Seorang
dosen mengenai hidup untukku. Aku ingin mempercayai figur ini sekali lagi saja
dalam hidupku.
Tapi
ada lingkungan yang lebih banyak bernama keluarga besar yang juga membuat
kompleks segala masalah. Ternyata, superioritas dalam finansial pun juga punya
peran penting dalam hal ini.
Meski
aku sempat kesal setengah mati ketika kamera milikku disita sebagai jaminan
kartu Ujian Nasional, aku mencoba merelakan dengan apa yang sebenarnya ia
pernah berikan dalam hidupku. Hal ini lebih dari sebuah kamera pemberian yang
menyimpan jutaan kenangan indah.
Bukan
sekali dua kali sempat terpikir untuk mengakhiri hidup secara paksa ataupun
sekadar melukai diriku sendiri. Tak peduli dengan apa kata orang. Tapi
sayangnya aku terlalu takut untuk mati.
Lagu-lagu
Nirvana yang selalu kudengar untuk meredam emosiku tak lagi memberi efek reda. Nada-nada
amarah Nirvana berganti dengan lirik depresi yang menyayat dari Breaking
Benjamin.
Tak
ada lagi yang membuatku nyaman di rumah. Andai saja tulisan-tulisanku bisa
menyelesaikan segala masalah yang ada, aku terus menulis dan membacakannya
keras-keras.
Bayangan
liburan indah paska Ujian Nasional pun juga harus sirna begitu saja. Rumahku
gelap beberapa bulan selama liburan, tanpa sebuah aliran yang menjadi
ketergantungan semua orang. Aku bersama bunda dan kakak adikku mengungsi ke apartemen
milik customer bunda di tiga tempat berbeda hingga rumah sepupuku tanpa memberi
tahu ayahku. Rumah kami bagai rumah indah yang bermetafora menjadi rumah hantu
selama beberapa bulan. Dua kendaraan yang pernah menjadi saksi indahnya rumah
ini juga entah kemana. I’m homeless.
Di
saat segala problematika belum terselesaikan, cobaan demi cobaan tetap
menghujam tanpa memberi jeda. Seorang yang sangat disayangi dan cintai oleh
Kang Naufal telah kembali kepada semesta, menjadi atom dan molekul.
Semua
memang membutuhkan waktu. Termasuk waktu untuk berdamai dengan semuanya.
Setelah
beberapa bulan, momentum lebaran tahun ini kami mencoba berdamai dengan segala
masalah yang meski masih saja meninggalkan sebuah luka mendalam. Aku mencoba
untuk tetap tegar. Aku selalu bersyukur bahwa ada dua orang sahabat perempuanku
yang terus membantuku melewati masa-masa gelap.
Saat
itu, aku dikenalkan oleh teman kampus keponakanku yang nantinya menjadi
kampusku juga. Loli namanya. Perkenalan itu membuat berat dalam hidupku
perlahan hilang. Ia tengah menghiburku dengan susah payah, menelponku saat
tengah malam, sebuah kedekatan yang tak lagi kurasakan sejak 3 tahun yang lalu.
Perlahan,
ia juga sama saja seperti yang lain. Akhirnya semua meninggalkanku ketika
diriku benar-benar membutuhkannya dan merasakan sebuah perasaan yang sudah lama
tak pernah singgah. Aku harus mundur lagi, menarik diri lagi, berusaha kembali
nyaman dengan kesendirianku. Krisis kepercayaan juga semakin menghantuiku dan
mengambil alih diriku.
Ujian
terberat lainnya ketika aku dituduh sebagai seorang penipu oleh salah satu
orang yang menjadi pengikut fanbase yang tengah kuketuai. Maki-makian serta
kata-kata kasar yang melukai apa yang selama ini kudedikasikan untuk mereka.
Ini adalah catatan merahku, meski aku tak merasa pernah menipu dan memang
benar-benar ada kendala.
Permasalahan
hutang uang yang cukup besar akibat keteledoranku pun membuatku resah. Apalagi
ini dengan keponakan sendiri.
Tulisan
novelku menjadi terbengkalai, terganti dengan memoar-memoar berisi senandung
frustasi yang kupublikasi di salah satu forum terbesar di Indonesia.
Tapi,
tak semuanya di tahun 2016 itu mengenai kesedihan. Teringat satu kalimat
favoritku dalam kisah nyata yang membuatku ingin menulis, Sepasang Kaos Kaki
Hitam, yang berbunyi: “Bahwa tak ada hujan yang tak reda. Semua permasalahan
pasti ada saatnya selesai.”.
Di
bulan Februari, aku memenangkan juara satu lomba fotografi di Perbanas
Institute, yang akhirnya uang itu kubelikan sebuah telepon genggam pengganti
telepon genggamku yang rusak. Kalau itu tak rusak, aku mungkin akan tetap
menggunakannya karena itu adalah salah satu kenangan yang diberikan ayahku
melalui kado ulang tahun. Aku bersyukur karenanya.
Kemudian,
Valdivieso—salah satu bandku—manggung dan dibayar dua kali berturut-turut.
Bandku yang satu lagi Next Gen, juga dapat tampil di launching gitar Cort MBC1
RS Matt Bellamy-nya Muse, lalu main di tribute Angels & Airwaves yang
selama ini menjadi resolusiku bertahun-tahun.
Aku
mengetuai tribute Angels & Airwaves 2016 ini bersama teman-temanku yang
mengajarkanku banyak hal mengenai kepemimpinan, tanggung jawab, juga hal lain
seperti mencari solusi. Ketika aku salah mengambil tindakan, mereka tak satupun
marah kepadaku. Mereka malah kompak membantuku membuat probabilitas solusi dari
berbagai macam masalah dan mengajarkanku bahwa masalah yang telah lalu
benar-benar tak usah dibahas. Hal itu sudah lewat, yang penting adalah
bagaimana mencari solusi dari permasalahan itu sehingga acara yang digelar
tanggal 3 September 2016 itu pun lancar dan cukup sesuai ekspetasi dan membuka
link ke orang-orang dalam berbagai perusahaan maupun media.
Tulisanku
mengenai kisah terakhir kakakku bersama almarhumah kekasihnya yang kutulis di
Wattpad juga mendapat apresiasi bagus dari rekan-rekan lama maupun rekan-rekan
baruku di dunia perkuliahan.
Dalam
bidang fotografi, aku bersyukur dilibatkan menjadi fotografer di Sofar Sounds
2, acara-acara komunitas Muse, juga dalam trial Mussy.co, lalu dilibatkan
shooting video klip band kakakku bersama teman-temanku yang mengcover lagu Fix
You, kemudian dipercayakan membuat Fall Look Book bersama teman kuliahku dengan
seorang artis. Kebangkitan akun portofolio fotografiku pun patut disyukuri,
berkat seseorang yang kukenal di bangku perkuliahan.
Lalu,
aku juga senang dipilih menjadi President Class dalam catatan memoar baruku
ini, setelah 2 tahun juga menjadi ketua kelas saat SMA. Meski kadang aku
merasakan krisis kepercayaan (lagi) kepada diriku. Aku juga menjabat sebagai
ketua Divisi Dokumentasi di acara bergengsi kampus—Awarding Night—juga ketua
Divisi Seminar & Workshop di club fotografi yang kuikuti.
Aku
sangat bersyukur di tahun ini aku dikenalkan kepada seorang sahabat wanita yang
sangat berharga untukku. Ia tak pernah lelah mendengar ceritaku juga memberi
solusi jitu atas cerita-ceritaku. Ia yang tak merubah pandangannya sedikitpun
padaku ketika ia tahu segala permasalahanku meski kami baru saling mengenal.
Satu hari ia pernah mengajakku keluar untuk meredakan segala problematika yang
ada di kepalaku. Dari semua permasalahan kecil hingga besar, ia tahu. Ia adalah
orang yang sangat kupercaya. Kupanggil namanya dengan Kak Andri.
Sahabat
keduaku adalah seorang wanita juga yang dahulu pernah membantuku keluar dari
segala keterpurukan ketika kekasihku yang tengah dua tahun berpacaran pergi
meninggalkanku hingga menikah. Masa-masa sulit itu ia selalu membantuku hingga
aku mulai bangkit. Di tahun ini, ia juga melakukan apa yang Kak Andri lakukan.
Tak
lupa untuk menyebut salah satu sahabatku yang selalu setia menemaniku di saat
apapun: Dito dan Degi.
Ada
satu hal terakhir sebelum menutup memoar singkat ini. Di tengah ketidak
percayaan atas diriku, ada dua orang di kampusku yang menyukaiku dalam waktu
yang bersamaan. Masalah ini memang begitu kompleks. Setidaknya untukku. Aku
yang kala itu tengah mengalami krisis kepercayaan terkesan tak tegas menanggapi
hal ini dalam memilih dari keduanya. Semua memang bagai mimpi. Bahkan aku
sampai dikatai lelaki brengsek oleh temanku. Tapi tak apa. Semua orang berhak
memiliki pandangannya masing-masing.
Salah
satu dari mereka ada yang menjauhiku ketika aku benar-benar juga sedang butuh
sosoknya yang kecil namun anggun dengan segala cara berpikirnya yang dewasa.
Tak apa jika menjauh secara baik-baik, tapi kata-kata pedas yang ia ucapkan
membuatku sakit—kembali kepada jurang terdalam dari kesedihan.
Yang
satunya pun tak lama menyusul. Tapi kami tetap menjadi sahabat yang bercerita
mengenai banyak hal. Bahkan ia tengah memiliki kekasih sekarang.
Aku
yang tak menyukai adanya konflik pun mencoba berdamai dengan orang pertama yang
menjauhiku sambil berharap masih ada secercah harapan.
Di
balik semua itu, mereka berdua kembali mengajarkan banyak hal kepadaku. Mereka
berdua kembali mengenalkan sebuah rasa yang sudah lama hilang. Mereka berdua..
secara tak sadar membuatku terbangun dari mimpi panjangku yang tanpa akhir.
Teman-temanku
sering meledekku juga merendahkanku dengan nada bercanda mengapa aku sering
terlihat senyam-senyum seperti orang gila. Mungkin mereka tak tahu bahwa itu
adalah salah satu cara agar aku dapat melupakan rasa sakit dan mencoba lebih
menikmati dan memaknai hidup. Lebih tepatnya menutupi rasa sakit.
Hidup
adalah mengenai membuat probabilitas dan mengenai mengambil kesempatan.
Terima
kasih tahun 2016 atas memoar-memoar pahit yang manis, yang pada akhirnya
menjadi pelengkap mozaik dalam hidupku. Sama seperti harapan-harapan orang lain
mengenai pergantian tahu,. aku selalu berharap, tahun ini menjadi lebih baik
untukku.
Biarkanlah
alunan akustik lagu Ordinary World
ini menjadi penutup tulisan ini dengan manis dan penuh arti.
0 komentar:
Posting Komentar