Paranada Yang Terbengkalai: Kamis Masokis, Melankolis



Cahaya yang merekah dari gedung tinggi itu tetap indah dilihat dari tiang tempatku duduk di sebuah stasiun kereta. Lamanya kereta dan kesunyian yang dipancarkan membuatku kembali terbenam dalam pikiran-pikiran yang tengah berdiskusi belakangan ini.

Seisi dunia kini terasa sepi. Aku terbangun dari tidur dalam keadaan begitu sunyi, setelah keributan yang kudengar beberapa puluh menit sebelumnya. Isi handphone-ku kembali sepi, tanpa kehadiran orang yang ceria menyambut setiap pagi dengan ucapan-ucapan yang menghangatkan.

Aku menyadari, bahwa aku kembali sendiri. Ucapan selamat malam darinya tak kunjung kubalas. Hariku terlebih dahulu kehilangan gairah akibat nada tinggi yang membuatku sempat terbangun.
Suasana stasiun kereta api hari ini juga terlihat sepi sunyi. Mengapa gerangan hari ini begini sunyi sepi?

Dalam kereta, alunan lagu Stay Together For The Kids yang diulang-ulang membuatku kembali tersesat dalam pikiran-pikiran yang membuat dadaku terasa sesak.

Apa kebaradaanku di dunia ini benar-benar dibutuhkan?

Aku terdiam. Aku merasa hari ini semua orang harus mengerti keegoisanku. Bahwa hingga kini, aku masih sering bertanya-tanya, bagaimana rasanya dicintai. Aku selalu berpikir, apakah orang sepertiku juga patut untuk dicintai, dan merasakan cinta?

Pikiranku berlanjut, jika aku adalah hasil romantisme kedua orangtuaku, apakah keberadaanku bisa menyelesaikan masalah-masalah yang selalu dipertengkarkan? Apakah aku bisa menjadi sebuah jawaban?

Mataku berkaca-kaca. Bahkan, kereta yang kini tak lagi sunyi, aku masih merasa sendiri. Kesunyian seakan menjadi sahaat lama yang tengah bereuni.

Kelasku hari ini juga terasa sepi. Kulihat dua orang temanku di lift tengah ingin membolos kuliah. Dosenku juga hanya mengulang materi yang telah ia sampaikan sebelumnya hingga kelima kalinya.
Meskipun menarik. Harus kuakui bahwa pikiranku kembali tenggelam. Orang yang biasanya menyapaku kini terdiam, seakan kami bukan orang yang pernah berkenalan sebelumnya.

Saat istirahat hingga mata kuliah berakhir—saat temanku membawa pizza sebagai traktiran ulang tahunnya—aku tetap diam. Teman-temanku selalu bertanya, “Lo kenapa, Man?”

Selalu kujawab, “nggak ada apa-apa, kok.” Kini aku seperti anak hilang yang membutuhkan kepekaan dan kepedulian dari orang lain yang amat mendalam.

Pikiranku buyar ketika temanku menyodorkan pizza-nya ke arahku. Sementara, orang itu masih tengah mengabaikanku. Memang, aku yang memulai tak membalas pesannya.

Aku bertanya-tanya kepadanya mengenai banyak hal kemarin. Aku ingin keberadaanku ini memang memiliki arti untuknya. Lebih penting dari seseorang yang tengah ia galaukan. Dari kacamataku, keberadaan lelaki itu lebih berpengaruh dibanding diriku. Teman-temanku selalu berbicara bahwa ia sekarang lebih sering membicarakan tentang lelaki itu dibanding diriku.

Seusai kelas, ia yang biasanya selalu bertanya kepadaku tentang tujuanku sepulang kuliah, kini pergi begitu saja. Di tengah teman-teman sekelas, aku tetap merasa sendiri.

Inginku bercerita tentang banyak hal yang terjadi, tapi aku selalu lebih senang mendengarmu becerita tentangnya. Mesipun hal ini membutakan langkahku.

Kini aku benar-benar buta arah. Rasanya tak ingin pulang. Rumah kini menjadi seperti mimpi buruk. Tak ada lagi ketentraman dalam rumah yang selalu didamba-dambakan orang banyak. Aku hilang, tanpa tujuan berarti.

Kamu mengatakan bahwa kamu tidak percaya lagi dengan romantisme cinta. Kamu mengatak kamu alergi dengan laki-laki. Lalu, aku ini apa? Apa aku hanya seperti sepenggal lagu milik temanku, sebuah pena yang terbalik—tergores tapi tak terbaca—ada tapi tak dianggap? Sama sekali tak ada makna diriku dalam benakmu, hingga orang yang dulu kau suka tengah menghubungimu, kemudian meninggalkanmu begitu saja, semua terasa berakhir?

Ini semakin menjelaskan, bahwa eksistensiku memang ada, tapi tak dianggap. Semua saranku adalah goresan pena yang tintanya habis, tergores namun hilang seiring menuanya keras.

Sekarang, keberadaan dirimu dalam hidupku semakin jelas. Ketika kamu mengacuhkanku, aku menemukan arti dirimu, meskipun jawaban-jawabanmu seakan merobek luka lama yang berusaha kututupi. Kini jelas, aku telah jatuh cinta kepada orang yang dahulu menyatakan perasaannya kepadaku.

Meski, kini aku bukan prioritasnya lagi;

Meski, kini aku bukan bahasan sehari-harinya lagi.

Masih banyak yang ingin kutulis, tapi, satu hal yang selalu kuingat dari perkataan dosenku, bahwa ketika kamu patah hati, kamu secara mendadak menjadi seorang pudjangga.

Hal ini benar. Percaya tidak percaya, tulisan ini kutulis di buku milikku dalam perjalanan pulang di kereta, hingga tulisan ini selesai. Handphone-ku kini tengah mati.

Kini, aku masih berusaha menemukan di mana aku seharusnya berada.

Aku ingin menjadi garis miring dan garis bawah dalam sebuah kata; Di mana kata yang bergaris miring dan bergaris bawah menandakan kamu adalah sesuatu yang penting dan bermakna.


Tertanda, orang yang kalah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Flickr Photostream

Romantic Palace

Twitter Updates

Meet The Author