Rambutmu yang tergerai begitu saja membuatku terlupa akan
hal lain di hari yang mendung itu. Kamu begitu lucu, dilihat dari sisi mana
pun. Rasa takut yang dulu selalu bersamaku kini menghilang entah ke mana.
Keanggunanmu langsung terpancarkan dari tubuhmu yang terlihat begitu mungil.
Awalnya aku tak pernah berpikir macam-macam mengenai
kemustahilan sampai tulisanmu membuatku begitu memikirkan jurang besar yang
selalu menghalangi setiap insan yang tengah jatuh cinta— tulisanmu
menyadarkanku dari jurang yang selalu membuat setiap orang berpikir
berkali-kali.
Meskipun dirimu dan diriku sama-sama tak begitu banyak
mengobrol di kelas, aku begitu menyukai ketidak jelasan komunikasi yang selalu
dilakukan; Capslock yang selalu dibubuhkan dalam setiap konversasi; bahasa baku
yang menjadi pelengkap pertukaran kata; juga komunikasi ambigu di setiap
tatapan mata yang saling berpandang.
Aku teringat banyak tentang saranmu yang membuat kesan
kedewasaanmu terpancarkan dari kata-kata ketika diriku sedang kembali kepada
sifat lamaku-
Apakah kamu masih ingin menjadi pembaca pertama dalam setiap
ceritaku?
Apakah kamu masih ingin menjalankan konsep-konsep yang
selalu kau ceritakan kepadaku?
Kata-kata dalam setiap paragraf yang kamu tulis
mengingatkanku akan lagu Jatuh Cinta Itu
Biasa Saja-nya Efek Rumah Kaca. Dalam salah satu bait liriknya bertuliskan:
“Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita
akan tersesat, saling mencari di dalam gelap, kedua mata kita gelap, lalu hati
kita gelap”
Nampaknya sekarang aku benar-benar tersesat—bertolak
belakang dengan hal yang kamu tuliskan tidak takut untuk tersesat.
Semua orang pernah berharap sambil berteduh dari hujan deras
yang mengguyur sebagian bumi seiringan dengan air mata yang terjatuh di bawah
langit kelam, seperti hari-hariku belum lama ini.
Kuambil headphone-ku, kucolokan ke dalam handphone, kemudian
memutar lagu Desember milik Efek
Rumah Kaca, menikmati hujan di depan mataku sambil memasukan tanganku ke dalam
jaket, berharap dingin yang menyelimuti dingin ini berganti dengan hangat yang
menyenangkan.
Aku berdoa, entah sudah berapa kali, kepada waktu yang terus
berjalan membawa berbagai harapan kosong. Mungkin waktu itu sendiri lelah
membawa harapan yang selalu kuucapkan.
Perkenalan kita mungkin belum terlalu lama, tapi aku selalu
senang bisa mengenalmu. Terima kasih telah menjadikanku salah satu sumber
kebahagiaanmu. Aku selalu senang hari di mana kita saling merangkai dan
bertukar kata-kata di depan laptop yang keduanya unik.
Terima kasih, untuk komunikasi ambigunya yang mengisi
waktuku. Terima kasih, telah mengisi partitur dalam garis paranada baru di
dunia baruku ini.
Teruntuk, wanita
bertubuh kecil yang anggun yang tak lagi membalas pesan-pesanku.
0 komentar:
Posting Komentar